Intoleransi Laktosa

No comment yet




 Oleh : Fitria Nurrahmawati (Ilmu Gizi 2014)
         Susu merupakan makanan alami yang dikonsumsi oleh makhluk hidup mamalia setelah dilahirkan. Hal tersebut juga berlaku untuk manusia. Air Susu Ibu merupakan satu-satunya makanan tunggal yang paling sempurna untuk bayi hingga usia 6 bulan. Hal ini dikarenakan susu mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Laktosa adalah satu-satunya karbohidrat yang ada dalam susu. Laktosa adalah disakarida yang tersusun dari 2 gula sederhana, yaitu glukosa dan galaktosa. Enzim lactase (a β-galactosidase) dibutuhkan untuk menghidrolisis (memecah)  laktosa menjadi gula yang lebih sederhana sehingga nantinya dapat dicerna dan diserap oleh tubuh.
Laktosa tidak dapat dicerna di usus halus ketika seseorang mengalami defisiensi enzim lactose (lactase nonpersistance, LNP). Laktosa akan memasuki usus besar yang nantinya akan difermentasi oleh mikroorganisme dimana akan memproduksi hydrogen, karbondioksida, dan gas metana. Laktosa yang tidak dicerna juga menarik air masuk ke lumen usus melalui proses osmosis dimana meningkatkan motilitas dan dapat menyebabkan diare. Gejalanya adalah sakit perut dan kembung. Level lactase yang rendah dapat menyebabkan malabsorpsi lactose (maldisgestilaktose). Malabsorsi lactose adalah masalah fisiologis yang menunjukkan adanya intoleransi laktosa.
  

Menurut American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition dalam Weaver, Bettoni, & Deirdre (2013), intoleransi laktosa adalah gejala klinis dari satu atau lebih, meliputi sakit perut, diare, mual, kembung setelah mengonsumsi laktosa atau makanan yang mengandung laktosa. Jumlah laktosa yang dapat menyebabkan gejala berberda tiap individu, tergantung jumlah laktosa yang dikonsumsi, derajat defisiensi laktosa, dan bentuk makanan yang mengandung laktosa. Meskipun tidak membahayakan, gejala intoleransi laktosa dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat mengganggu kualitas kehidupan.
Defisiensi lactase pada orang dewasa adalah fenomena perkembangan yang normal yang disebabkan penurunan aktivitas laktase yang terjadi setelah masa penyapihan. Aktivitas lactase paling tinggi adalah pada bayi yang baru dilahirkan. Gangguan pencernaan terhadap laktosa semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Lactase non persistence lebih umum terjadi pada masyarakat yang menggembalakan hewan atau terjadi seleksi gen individu untuk mencerna laktosa.
Pada individu yang didiagnosa dengan intoleransi laktosa, perubahan pola makan diperlukan, namun tidak menghilangkan konsumsi susu. Menghindari semua produk susu dapat memicu terjadinya defisiensi beberapa mineral utama, seperti kalsium, vitamin D, dan riboflavin. Namun, sebagian besar individu dapat menoleransi beberapa produk olahan susu dan dapat meningkatkan toleransi bakteri kolon untuk dapat beradaptasi untuk memanfaatkan gas hidrogren yang diproduksi saat fermentasi. Laktosa yang tidak terhidrolisis dapat berperan sebagai prebiotic (komposisi makanan yang tidak tercerna yang bermanfaat dalam metabolism selektif di usus), dimana menyebabkan adaptasi dari mikro florakolon.
Produk olahan susu yang difermentasi, seperti yogurt dapat ditoleransi oleh individu yang mengalami intoleransi laktosa. Bakteri pada yogurt mencerna laktosa menjadi glukosa dan galaktosa (serta glukosa menjadi asam laktat). Selain itu, yogurt juga dapat memperlambat pengosongan lambung dan perpindahan makanan dari lambung ke usus, sehingga gejala intoleransi laktosa yang muncul akan lebih sedikit.

Daftar Pustaka
Weaver, C., Bettoni, R., & Deirdre. 2013. Milk and dairy products as part of diet.
In E. Muehlhoff, A. Bennett, & D. McMahon, Milk and Dairy products in Human Nutrition (pp.103-183). Rome: FAO.



Posting Komentar